istilah
sebutan Domba terhadap ummat itu hanya ada dalam ajaran kristen,
sehingga selain Ummat kristen di anggapnya sebagai Domba Tersesat, maka
Strategi kristen menciptakan Bagaimana Domba-domba tersebut di adu..
Mereka menggunakan pola adu domba. Persis seperti ketika Belanda
mempertahankan penjajahan mereka terhadap Indonesia. Pola ‘devide et
impera’ menjadi sebuah pola yang dipandang efektif. Mengadu domba antara
penguasa lokal yang pro-Belanda dengan yang menentang Belanda.
Konflik antara yang pro Belanda dan yang menentang Belanda itu, sangat
efektif yang akhirnya melemahkan kekuatan yang menentang Belanda, tanpa
Belanda harus berkorban untuk mempertahankan penjajahan mereka terhadap
daerah jajahahannya seperti Indonesia.
Sekarang ini, walaupun
dalam esensi yang berbeda, tetapi mereka memiliki kesamaan pola, yang
menggunakan unsur-unsur dalam Islam, yang digunakan untuk ‘menghantam’
dan ‘menghabisi’ orang-orang Islam, organisasi Islam, yang tidak sejalan
dengan pandangan mereka, dan dianggap menjadi ancaman bagi kepentingan
mereka.
Misalnya, ketika mereka menghadapi kasus yang terjadi
di Cikeusik dan Temanggung, mereka berusaha menjadikan sumber dari
kalangan ‘tokoh-tokoh Islam’, yang kemudian mereka wawancarai, dan
digunakan untuk menghantam pemerintah dengan opini: "Tindak Tegas Ormas
Melakukan Kekerasan".
Bagaimana media-media Kristen dan
sekuler, terus-menerus ‘meneror’ pemerintah dengan memborbardir opini
yang konsisten untuk merontokkan moral pemerintah, yang kemudian mereka
mengharapkan agar pemerintah mengambil kebijakan seperti yang mereka
kehendaki.
Mula-mula media-media Kristen itu, memuat judul
berita utama, sesudah peristiwa Cikeusik dan Temanggung itu, dengan
judul : “SBY : Bubarkan Ormas Perusuh”. (Kompas/10/2). Dibawah judul,
diberi anak kalimat : “Jika ada kelompok dan organisasi resmi yang
selama ini terus melakukan kekerasan, maka kepada penegak hukum agar
dicarikan jalan yang sah atau legal, jika perlu dilakukan pembubaran”.
Ini pernyataan Presiden SBY yang dikutip harian Kompas.
Tetapi
mereka masih belum puas dengan pernyataan Presiden SBY, dan mereka
bertambah keras melakukan tekanan, dan diikuti dengan sejumlah opini
yang dimunculkan dari kalangan tokoh Islam.
Seperti wawancara
dengan seorang tokoh Partai PPP, Lukman Hakim Saifuddin, yang juga
menjadi wakil ketua MPR, dan sengaja diturunkan menjadi sebuah berita
utama : “Kebinekaan Pun Terancam”, “Pemerintah Diminta Tegas Tangani
Kekerasan”. (Kompas, 14/2).
Dibawah judul berita utama itu,
terdapat kalimat-kalimat : “Kekerasan atas nama agama atau apapun
merupakan ancaman terhadap Bhineka Tunggal Ika. Di tengah kondisi
politik dan ekonomi yang belum menentu, kesadaran tentang kebinekaan,
seharusnya menjadi benteng terakhir”.
Lalu dikutip pernyataan
Lukman Hakim, yang menjadi salah satu Ketua PPP, itu antara lain :
“Penegakkan hukum yang tegas menjadi kunci utama agar kasus-kasus itu
(kekerasan) tidak menganggu keberagaman,yang merupakan fakta obyektif
bangsa Indonesia”, ucap Lukman Hakim Saifuddin.
Selain itu,
juga dikutip Yudi Latif, yang mantan Rektor Universitas Paramadina, dan
sekarang mendirikan Reform Institute, yang dalam wawancaranya di harian
Kompas (14/2), menyatakan, “Namun, seringkali negara bukan saja gagal
melindungi keragaman, melainkan justru memanfaatkan atau membiarkan
kekerasan yang diakibatkan oleh keberagaman itu untuk kepentingan jangka
pendek”, ujar Yudi.
Demikian pula, pendapat tokoh Nahdathul
Ulama dan Muhammadiyah, Hasyim Muzadi dan Piet Chaidir, yang meminta,
bahwa aparat penegak hukum, harus bertindak tegas, terhadap pelaku
kekerasan, pasti ujungnya adalah bukan hanya pemenjaraan, tetapi yang
lebih esensial, tak l ain, pembubaran ormas Islam, yang dianggap menjadi
ancaman.
Mereka juga sering menggunakan bukan hanya
tokoh-tokoh Islam yang dianggap bisa dimanfaatkan untuk tujuan yang
penting dan mendasar bagi mereka, tetapi, juga menggunakan kelompok LSM
Islam, seperti Wahid Institute, Ma’arif Institute, mereduksi dan
menghancurkan kelompok-kelompok Islam, yang mereka anggap melakukan
kekerasan yang membahayakan.
Kalangan Kristen melalui para
tokoh-tokoh meraka, berhasil ‘mengandangi’ tokoh-tokoh Islam, seperti
Din Syamsudin, Syafi'i Ma'arif, dn Hazim Muzadi, dan sejumlah tokoh
lainnya, dan melaui wadah seperti organisasi “Lintas Agama”, atau
menggunakan “Dialog Antar Iman”, serta ada “World Religion For Paece”,
dan mereka berhasil.
Belum lama ini mereka melangsungkan
pertemuan di kantor PP Muhammadiyah, para tokoh agama, dan mengangkat
isu bahwa pemerintahan Presiden SBY adalah bohong. Pernyataan SBY
berbuat “bohong’, kemudian mereka meledakkan isu itu melalui jaringan
media mereka. Isu yang diangkat Presiden SBY berbuat bohong, yang gegap
gempita itu, membuat Presiden SBY menjadi jatuh terduduk. Akhirnya,
Presiden SBY mengundang para tokoh agama, dan sesudah bertemu dengan
Presiden SBY di Istana Merdeka, mereka berani menunjuk-nunjuk Presiden,
ujar seorang menteri. Ini sungguh luar biasa mereka.
Tetapi,
sudah dapat dibaca apa yang mereka tuntut, tak laih hanyalah menghapus
SKB Tiga Menteri, yang mengatur pendirian tempat ibadah. Mereka merasa
tidak bebas mendirikan gereja di sembarang tempat. Mereka tidak dapat
mengajarkan dan mewartakan agama mereka kepada semua orang di negeri
ini.
Adanya SKB itu mereka pandang sebagai hal yang melanggar
fundamental kebebasan beragama. Melanggar hak-hak dasar manusia, yang
berkaitan beragama. Mereka tidak ingin adanya pembatasan dengan berbagai
aturan yang ada. Inilah inti masalah yang dengan pernak-perniknya yang
mereka lakukan, dan menggunakan dengan berbagai cara dan pembentukan
opini.
Jika segala aturan yang ada, yang ingin mengatur harmoni
kehidupan umat beragama ini dicabut, seperti adanya SKB, dan setiap
individu dan setiap orang melakukan apa saja, maka itulah yang akan
mengakibatkan kehancuran.
Sebenarnya, jika tidak menginginkan
kekerasan terjadi, aspirasi dan pendapat para tokoh Islam dan ormas
Islam seharusnya diakomodasi. Sebaliknya, tidak ditolak sesudah
mengemukakan pandangan dan pendapatnya dengan tata cara yang lazim.
Faktanya, selalu ditolak, dan tidak dihargai. Kemudian apa yang harus
dilakukan para ulama, pemimpin ormas Islam di negeri ini? Membiarkan
gereja berdiri di tempat-tempat orang Islam, tanpa batasan?
Dulu, ketika awal Republik ini akan berdiri, ketika akan menentukan
dasar negara, yang sekarang dikenal dengan Pancasila, para pemimpin
islam ingin memasukkan ‘tujuh kata’ dalam Pancasila/UUD’45, yang dikenal
dengan "Piagam Jakarta atau Jakarta Charter", tetapi ditolak oleh
golongan Kristen, dan menyatakan akan memisahkan diri. Tidak bergabung
dengan Republik.
Dari awal sudah ada benih-benih yang mendasari
sikap mereka untuk tidak mau menerima kenyataan dan konsensus, bahwa di
negeri ini yang mayoritas adalah umat Islam.
Hakekatnya, umat
Islam di Indonesia sudah tidak memiliki apa-apa lagi. Ekonomi berada di
tangan golongan Cina. Politik juga bukan berada di tangan golongan
Islam, karena mereka tidak dapat melaksanakan keyakinan mereka. Sekarang
keyakinan Islamnya pun mau digusur. Harus menganut keyakinan semua
agama “sama”. Alias menganut paham pluralisme. Tidak boleh melakukan
kekerasan. Padahal, umat Islam sudah berulang kali mengedepankan dialog
dan menjunjung tinggi nilai-nilai harmoni, tetapi golongan lainnya, tak
menyambutnya.
Tetapi, sekarang justeru golongan Islam yang disudutkan, sebagai kelompok yang suka melakukan kekerasan.
Siapa yang mekukan agresi ke Irak, dan membunuhi jutaan rakyat Irak?
Siapa yang melakukan agresi ke Afghanistan, dan membunuhi rakyat di
negeri yang miskin itu? Apa kesalahan rakyat Palestina, sampai sekarang
terus dibunuhi oleh Israel?
Apa yang terjadi di negeri ini yang
dialami oleh umat Islam? Ribuan orang Islam (Madura) dibantai di
Kalimatan Barat dan Tengah? Adakah mereka menuduh yang melakukan
pembunuhan terhadap umat Islam (Madura) harus dituntut untuk ditindak
tegas?
Adakah umat islam ini sebagai penjahat, yang harus
dikutuk, dan dihancurkan? Adakah umat Islam tidak berhak melaksanakan
keyakinannya, harus meninggalkan keyakinannya, dan mengatakan semua
agama itu sama?
Wallahu’alam
SEMOGA BERMANFAAT & SEBARKAN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar