(Dengarkan Kisah Nyata Akhwat Gorontalo)
Seorang akhwat menceritakan kenangan masa lalunya
yang tak terlupakan:
“Namaku Mariani, orang-orang biasa memangilku
Aryani. Ini adalah kisah perjalanan hidupku yang hingga hari ini masih belum
lengkang dalam benakku. Sebuah kisah yang nyaris membuatku menyesal seumur
hidup bila aku sendiri saat itu tidak berani mengambil sikap. Yah, sebuah
perjalanan kisah yang sungguh aku sendiri takjub dibuatnya, sebab aku sendiri
menyangka bahwa di dunia ini mungkin tak ada lagi orang seperti dia.
Tahun 2007 silam, aku dipaksa orang tuaku menikah
dengan seorang pria, Kak Arfan namanya. Kak Arfan adalah seorang lelaki yang
tinggal sekampung denganku, tapi dia seleting dengan kakakku saat sekolah dulu.
Usia kami terpaut 4 Tahun. Yang aku tahu bahwa sejak kecilnya Kak Arfan adalah
anak yang taat kepada orang tuanya dan juga rajin ibadah. Tabiatnya yang
seperti itu terbawa-bawa sampai ia dewasa. Aku merasa risih sendiri dengan Kak
Arfan apabila berpapasan dijalan, sebab sopan santunya sepertinya terlalu
berlebihan pada orang-orang. Geli aku menyaksikannya, yah, kampungan banget
gelagatnya…,
Setiap ada acara-acara ramai di kampung pun Kak
Arfan tak pernah kelihatan bergabung sama teman-teman seusianya. Yaah, pasti
kalau dicek ke rumahnya pun gak ada, orang tuanya pasti menjawab “Kak Arfan di
mesjid nak, menghadiri taklim”. Dan memang mudah sekali mencari Kak Arfan,
sejak lulus dari Pesantren Al-Khairat Kota Gorontalo.
Kak Arfan sering menghabiskan waktunya membantu
orang tuanya jualan, kadang terlihat bersama bapaknya di kebun atau di sawah.
Meskipun kadang sebagian teman sebayanya menyayangkan potensi dan
kelebihan-kelebihannya yang tidak tersalurkan. Secara fisik memang Kak Arfan
hampir tidak sepadan dengan ukuran ekonomi keluarganya yang pas-pasan. Sebab
kadang gadis-gadis kampung suka menggodanya kalau Kak Arfan dalam keadaan rapi
menghadiri acara-acara di desa.
Tapi bagiku sendiri, itu adalah hal yang
biasa-biasa saja, sebab aku sendiri merasa bahwa sosok Kak Arfan adalah sosok yang
tidak istimewa. Apa istimewanya menghadiri taklim, kuper dan kampunga banget.
Kadang hatiku sendiri bertanya, koq bisa yah, ada orang yang sekolah di kota
namun begitu kembali tak ada sedikitpun ciri-ciri kekotaan melekat pada
dirinya, HP gak ada. Selain bantu orang tua, pasti kerjanya ngaji, sholat,
taklim dan kembali ke kerja lagi. Seolah riang lingkup hidupnya hanya monoton
pada itu-itu saja, ke biosokop kek, ngumpul bareng teman-teman kek stiap malam
minggunya di pertigaan kampung yang ramainya luar biasa setiap malam minggu dan
malam kamisnya. Apalagi setiap malam kamis dan malam minggunya ada acara curhat
kisah yang TOP banget disebuah station Radio Swasta digotontalo, kalau tidak
salah ingat nama acaranya Suara Hati dan nama penyiarnya juga Satrio
Herlambang.
Waktu terus bergulir dan seperti gadis-gadis
modern pada umumnya yang tidak lepas dengan kata Pacaran, akupun demikian. Aku
sendiri memiliki kekasih yang begitu sangat aku cintai, namanya Boby. Masa-masa
indah kulewati bersama Boby. Indah kurasakan dunia remajaku saat itu. Kedua
orang tua Boby sangat menyayangi aku dan sepertinya memiliki sinyal-sinyal
restunya atas hubungan kami. Hingga musibah itu tiba, aku dilamar oleh seorang
pria yang sudah sangat aku kenal. Yah siapa lagi kalau bukan si kuper Kak Arfan
lewat pamanku. Orang tuanya Kak Arfan melamarku untuk anaknya yang kampungan
itu.
Mendengar penuturan mama saat memberitahu padaku
tentang lamaran itu, kurasakan dunia ini gelap, kepalaku pening…, aku berteriak
sekencang-kencangnya menolak permintaan lamaran itu dengan tegas dan
terbelit-belit aku sampaikan langsung pada kedua orang tuaku bahwa aku menolak
lamaran keluarganya Kak Arfan. dan dengan terang-terangan pula aku sampaikan
pula bahwa aku memiliki kekasih pujaan hatiku, Boby.
Mendengar semua itu ibuku shock dan jatuh
tersungkur kelantai. Akupun tak menduga kalau sikapku yang egois itu akan
membuat mama shock. Baru kutahu bahwa yang menyebabkan mama shok itu karena
beliau sudah menerima secara resmi lamaran dari orang tuanya Kak Arfan. Hatiku
sedih saat itu, kurasakan dunia begitu kelabu. Aku seperti menelan buah
simalakama, seperti orang yang paranoid, tidak tahu harus ikut kata orang tua
atau lari bersama kekasih hatiku Boby.
Hatiku sedih saat itu. Dengan berat hati dan
penuh kesedihan aku menerima lamaran Kak Arfan untuk menjadi istrinya dan
kujadikan malam terakhir perjumapaanku dengan Boby di rumahku untuk meluapkan
kesedihanku. Meskipun kami saling mencintai, tapi mau tidak mau Boby harus
merelakan aku menikah dengan Kak Arfan. Karena dia sendiri mengakui bahwa dia
belum siap membina rumah tangga saat itu.
Tanggal 11 Agustus 2007 akhirnya pernikahanku pun
digelar. Aku merasa bahwa pernikahan itu begitu menyesakkan dadaku. Air mataku
tumpah di malam resepsi pernikahan itu. Di tengah senyuman orang-orang yang
hadir pada acara itu, mungkin akulah yang paling tersiksa. Karena harus
melepaskan masa remajaku dan menikah dengan lelaki yang tidak pernah kucintai.
Dan yang paling membuatku tak bias menahan air mataku, mantan kekasihku boby hadir
juga pada resepsi pernikahan tersebut. Ya Allah mengapa semua ini harus terjadi
padaku ya Allah… mengapa aku yang harus jadi korban dari semua ini?
Waktu terus berputar dan malam pun semakin
merayap. Hingga usailah acara
resepsi pernikahan kami. Satu per satu para undangan pamit pulang hingga sepi lah rumah kami. Saat masuk ke dalam kamar, aku tidak mendapati suamiku Kak Arfan di dalamnya. Dan sebagai seorang istri yang hanya terpaksa menikah dengannya, maka aku pun membiarkannya dan langsung membaringkan tubuhku setalah sebelumnya menghapus make-up pengantinku dan melepaskan gaun pengantinku. Aku bahkan tak perduli kemana suamiku saat itu. Karena rasa capek dan diserang kantuk, aku pun akhirnya tertidur.
resepsi pernikahan kami. Satu per satu para undangan pamit pulang hingga sepi lah rumah kami. Saat masuk ke dalam kamar, aku tidak mendapati suamiku Kak Arfan di dalamnya. Dan sebagai seorang istri yang hanya terpaksa menikah dengannya, maka aku pun membiarkannya dan langsung membaringkan tubuhku setalah sebelumnya menghapus make-up pengantinku dan melepaskan gaun pengantinku. Aku bahkan tak perduli kemana suamiku saat itu. Karena rasa capek dan diserang kantuk, aku pun akhirnya tertidur.
Tiba-tiba di sepertiga malam, aku tersentak
tatkala melihat ada sosok hitam yang berdiri disamping ranjang tidurku. Dadaku
berdegup kencang. Aku hampir saja berteriak histeris, andai saja saat itu tak
kudengar serua takbir terucap lirih dari sosok yang berdiri itu. Perlahan
kuperhatikan dengan seksama, ternyata sosok yang berdiri di sampingku itu
adalah Kak Arfan suamiku yang sedang sholat tahajud. Perlahan aku baringkan
tubuhku sambil membalikkan diriku membelakanginya yang saat itu sedang sholat
tahajud. Ya Allah aku lupa bahwa sekarang aku telah menjadi istrinya Kak Arfan.
Tapi meskipun demikian, aku masih tak bisa menerima kehadirannya dalam hidupku.
Saat itu karena masih dibawah perasan ngantuk, aku pun kembali teridur. Hingga
pukul 04.00 dini hari, kudapati suamiku sedang tidur beralaskan sajadah dibawah
ranjang pengantin kami.
Dadaku kembali berdetak kencang kala
mendapatinya. Aku masih belum percaya kalau aku telah bersuami. Tapi ada sebuah
pertanyaaan terbetik dalam benakku. Mengapa dia tidak tidur di ranjang
bersamaku. Kalaupun dia belum ingin menyentuhku, paling gak dia tidur seranjang
denganku itukan logikanya. Ada apa ini? ujarku perlahan dalam hati. Aku sendiri
merasa bahwa mungkin malam itu Kak Arfan kecapekan sama sepertiku sehingga dia
tidak mendatangiku dan menunaikan kewajibannya sebagai seorang suami. Tapi apa
peduliku dengan itu semua, toh akupun tidak menginginkannya, gumamku dalam
hati.
Hari-hari terus berlalu. Kami pun mejalani
aktifitas kami masing-masing, Kak
Arfan bekerja mencari rezeki dengan pekerjaannya. Sedangkan aku di rumah berusaha semaksimal mungkin untuk memahami bahwa aku telah bersuami dan memiliki kewajiban melayani suamiku. Yah minimal menyediakan makanannya, meskipun kenangan-kenangan bersama Boby belum hilang dari benakku, aku bahkan masih merindukannya.
Arfan bekerja mencari rezeki dengan pekerjaannya. Sedangkan aku di rumah berusaha semaksimal mungkin untuk memahami bahwa aku telah bersuami dan memiliki kewajiban melayani suamiku. Yah minimal menyediakan makanannya, meskipun kenangan-kenangan bersama Boby belum hilang dari benakku, aku bahkan masih merindukannya.
Semula kufikir bahwa prilaku Kak Arfan yang tidak
pernah menyentuhku dan menunaikan kewajibannya sebagai suami itu hanya terjadi
malam pernikahan kami. Tapi ternyata yang terjadi hampir setiap malam sejak
malam pengantin itu, Kak Arfan selalu tidur beralaskan permadani di bawah
ranjang atau tidur di atas sofa dalam kamar kami. Dia tidak pernah menyentuhku
walau hanya menjabat tanganku. Jujur segala kebutuhanku selalu dipenuhinya.
Secara lahir dia selalu mafkahiku, bahkan nafkah lahir yang dia berikan lebih
dari apa yang aku butuhan. Tapi soal biologis, Kak Arfan tak pernah sama sekali
mengungkit- ungukitnya atau menuntutnya dariku. Bahkan yang tidak pernah
kufahami, pernah secara tidak sengaja kami bertabrakan di depan pintu kamar,
Kak Arfan meminta maaf seolah merasa bersalah karena telah menyetuhku.
Ada apa dengan Kak Arfan? Apakah dia lelaki
normal? kenapa dia begitu dingin padaku? apakah aku kurang di matanya? atau?
pendengar, jujur merasakan semua itu, membuat banyak pertanyaan berkecamuk
dalam benakku. Ada apa dengan suamiku? bukankah dia adalah pria yang beragama
dan tahu bahwa menafkahi istri itu secara lahir dan batin adalah kewajibannya?
ada apa dengannya? padahal setiap hari dia mengisi acara-acara keagamaan di
mesjid. Dia begitu santun pada orang-orang dan begitu patuh kepada kedua
orangtuanya. Bahkan terhadap aku pun hampir semua kewajibannya telah dia
tunaikan dengan hikmah, tidak pernah sekali pun dia bersikap kasar dan
berkata-kata keras padaku. Bahkan Kak Arfan terlalu lembut bagiku.
Tapi satu yang belum dia tunaikan yaitu nafkah
batinku. Aku sendiri saat mendapat perlakuan darinya setiap hari yang begitu
lembutnya mulai menumbuhkan rasa cintaku padanya dan membuatku perlahan-lahan
melupakan masa laluku bersama Boby. Aku bahkan mulai merindukannya tatkala dia sedang
tidak dirumah. Aku bahkan selalu berusaha menyenangkan hatinya dengan melakukan
apa-apa yang dia anjurkannya lewat ceramah-ceramahnya pada wanita-wanita
muslimah, yakni mulai memakai busana muslimah yang syar’i.
Memang dua hari setelah pernikahan kami, Kak
Arfan memberiku hadiah yang diisi dalam karton besar. Semula aku mengira bahwa
hadiah itu adalah alat-alat rumah tangga. Tapi setelah kubuka, ternyata isinya
lima potong jubah panjang berwarna gelap, lima buah jilbab panjang sampai
selutut juga berwana gelap, lima buah kaos kaki tebal panjang berwarnah hitam
dan lima pasang manset berwarna gelap pula. Jujur saat membukanya aku sedikit
tersinggung, sebab yang ada dalam bayanganku bahwa inilah konsekuensi menikah
dengan seorang ustadz. Aku mengira bahwa dia akan memaksa aku untuk
menggunakannya. Ternyata dugaanku salah sama sekali. Sebab hadiah itu tidak
pernah disentuhnya atau ditanyakannya.
Kini aku mulai menggunakannya tanpa paksaan
siapapun. Kukenakan busana itu agar diatahu bahwa aku mulai menganggapnya
istimewa. Bahkan kebiasaannya sebelum tidur dalam mengajipun sudah mulai aku
ikuti. Kadang ceramah-ceramahnya di mesjid sering aku ikuti dan aku praktekan
di rumah.
Tapi satu yang belum bisa aku mengerti darinya.
Entah mengapa hingga enam bulan pernikahan kami dia tidak pernah menyentuhku.
Setiap masuk kamar pasti sebelum tidur, dia selalu mengawali dengan mengaji,
lalu tidur di atas hamparan permadani dibawah ranjang hingga terjaga lagi di
sepertiga malam, lalu melaksanakan sholat tahajud. Hingga suatu saat Kak Arfan
jatuh sakit. Tubuhnya demam dan panasnya sangat tinggi. Aku sendiri bingung
bagaimana cara menanganinya. Sebab Kak Arfan sendiri tidak pernah menyentuhku.
Aku khawatir dia akan menolakku bila aku menawarkan jasa membantunya. Ya Allah..apa
yang harus aku lakukan saat ini. Aku ingin sekali meringankan sakitnya, tapi
apa yang harus saya lakukan ya Allah..
Malam itu aku tidur dalam kegelisahan. Aku tak
bisa tidur mendengar hembusan nafasnya yang seolah sesak. Kudengar Kak Arfan
pun sering mengigau kecil. Mungkin karena suhu panasnya yang tinggi sehingga ia
selalu mengigau. Sementara malam begitu dingin, hujan sangat deras disetai
angin yang bertiup kencang. Kasihan Kak Arfan, pasti dia sangat kedinginan saat
ini. Perlahan aku bangun dari pembaringan dan menatapnya yang sedang tertidur
pulas. Kupasangkan selimutnya yang sudah menjulur kekakinya. Ingin sekali aku
merebahkan diriku di sampingnya atau sekedar mengompresnya. Tapi aku tak tahu
bagaimana harus memulainya. Hingga akhirnya aku tak kuasa menahan keinginan
hatiku untuk mendekatkan tanganku di dahinya untuk meraba suhu panas tubuhnya.
Tapi baru beberapa detik tanganku menyentuh kulit
dahinya, Kak Arfan terbangun dan langsung duduk agak menjauh dariku sambil
berujar ”Afwan dek, kau belum tidur? kenapa ada di bawah? nanti kau kedinginan?
ayo naik lagi ke ranjangmu dan tidur lagi, nanti besok kau capek dan jatuh
sakit?” pinta kak Arfan padaku. Hatiku miris saat mendengar semua itu. Dadaku
sesak, mengapa Kak Arfan selalu dingin padaku. Apakah dia menganggap aku orang
lain. Apakah di hatinya tak ada cinta sama sekali untukku. Tanpa kusadari air
mataku menetes sambil menahan isak yang ingin sekali kulapkan dengan teriakan.
Hingga akhirnya gemuruh di hatiku tak bisa kubendung juga.
”Afwan kak, kenapa sikapmu selama ini padaku
begitu dingin? kau bahkan tak
pernah mau menyentuhku walaupun hanya sekedar menjabat tanganku? bukankah aku ini istrimu? bukankah aku telah halal buatmu? lalu mengapa kau jadikan aku sebagai patung perhiasan kamarmu? apa artinya diriku bagimu kak? apa artinya aku bagimu kak? kalau kau tidak mencintaiku lantas mengapa kau menikahiku? mengapa kak? mengapa?” Ujarku disela isak tangis yang tak bisa kutahan.
pernah mau menyentuhku walaupun hanya sekedar menjabat tanganku? bukankah aku ini istrimu? bukankah aku telah halal buatmu? lalu mengapa kau jadikan aku sebagai patung perhiasan kamarmu? apa artinya diriku bagimu kak? apa artinya aku bagimu kak? kalau kau tidak mencintaiku lantas mengapa kau menikahiku? mengapa kak? mengapa?” Ujarku disela isak tangis yang tak bisa kutahan.
Tak ada reaksi apapun dari Kak Arfan menanggapi
galaunya hatiku dalam tangis yang tersedu itu. Yang nampak adalah dia
memperbaiki posisi duduknya dan melirik jam yang menempel di dinding kamar
kami. Hingga akhirnya dia mendekatiku dan perlahan berujar padaku:
”Dek, jangan kau pernah bertanya pada kakak
tentang perasaan ini padamu. Karena sesungguhnya kakak begitu sangat
mencintaimu. Tetapi tanyakanlah semua itu pada dirimu sendiri. Apakah saat ini
telah ada cinta di hatimu untuk kakak? kakak tahu dan kakak yakin pasti suatu
saat kau akan bertanya mengapa sikap kaka selama ini begitu dingin padamu.
Sebelumnya kakak minta maaf bila semuanya baru kakk kabarkan padamu malam ini.
Kau mau tanyakan apa maksud kakak sebenarnya dengan semua ini?" ujar Kak
Arfan dengan agak sedikit gugup.
“Iya tolong jelaskan pada saya Kak, mengapa kakak
begitu tega melakukan ini
pada saya? tolong jelaskan Kak?” Ujarku menimpali tuturnya kak Arfan.
“Hhhhhmmm, Dek kau tahu apa itu pelacur? dan apa pekerjaan seorang pelacur? afwan dek dalam pemahaman kakak, seorang pelacur itu adalah seorang wanita penghibur yang kerjanya melayani para lelaki hidung belang untuk mendapatkan materi tanpa peduli apakah di hatinya ada cinta untuk lelaki itu atau tidak. Bahkan seorang pelacur terkadang harus meneteskan air mata mana kala dia harus melayani nafsu lelaki yang tidak dicintainya. Bahkan dia sendiri tidak merasakan kesenangan dari apa yang sedang terjadi saat itu. kakak tidak ingin hal itu terjadi padamu dek.
pada saya? tolong jelaskan Kak?” Ujarku menimpali tuturnya kak Arfan.
“Hhhhhmmm, Dek kau tahu apa itu pelacur? dan apa pekerjaan seorang pelacur? afwan dek dalam pemahaman kakak, seorang pelacur itu adalah seorang wanita penghibur yang kerjanya melayani para lelaki hidung belang untuk mendapatkan materi tanpa peduli apakah di hatinya ada cinta untuk lelaki itu atau tidak. Bahkan seorang pelacur terkadang harus meneteskan air mata mana kala dia harus melayani nafsu lelaki yang tidak dicintainya. Bahkan dia sendiri tidak merasakan kesenangan dari apa yang sedang terjadi saat itu. kakak tidak ingin hal itu terjadi padamu dek.
Kau istriku dek, betapa bejatnya kakak ketika
kakak harus memaksamu melayani kakak dengan paksaan saat malam pertama
pernikahan kita. Sedangkan di hatimu tak ada cinta sama sekali buat kaka.
Alangkah berdosanya kakak, bila pada saat melampiaskan birahi kakak padamu
malam itu, sementara yang ada dalam benakmu bukanlah kakak tetapi ada lelaki
lain. Kau tahu dek, sehari sebelum pernikahan kita digelar, kakak sempat datang
ke rumahmu untuk memenuhi undangan Bapakmu. Tapi begitu kakak berada di depan
pintu pagar rumahmu, kaka melihat dengan mata kepala kakak sendiri kesedihanmu
yang kau lampiaskan pada kekasihmu boby. Kau ungkapkan pada Boby bahwa kau
tidak mencintai kakak. Kau ungkapkan pada Boby bahwa kau hanya akan
mencintainya selamanya. Saat itu kakak merasa bahwa kakak telah mermpas
kebahagiaanmu.
Kakak yakin bahwa kau menerima pinangan kakak itu
karena terpaksa. Kakak juga mempelajari sikapmu saat di pelaminan. Begitu
sedihnya hatimu saat bersanding di pelaminan bersama kakak. Lantas haruskah
kakak egois dengan mengabaikan apa yang kau rasakan saat itu. Sementara tanpa
memperdulikan perasaanmu, kakak menunaikan kewajiban kakak sebagai suamimu di
malam pertama. Semenatara kau sendiri akan mematung dengan deraian air mata
karena terpaksa melayani kakak?
Kau istriku dek, sekali lagi kau istriku. Kau
tahu, kakak sangat mencintaimu. Kakak akan menunaikan semua itu manakala di
hatimu telah ada cinta untuk kakak. Agar kau tidak merasa diperkosa hak-hakmu.
Agar kau bisa menikmati apa yang kita lakukan bersama. Alhamdulillah apabila
hari ini kau telah mencintai kaka. Kakak juga merasa bersyukur bila kau telah
melupakan mantan kekasihmu itu. Beberapa hari ini kakak perhatikan kau juga
telah menggunakan busana muslimah yang syar’i. Pinta kakak padamu dek, luruskan
niatmu, kalau kemarin kau mengenakan busana itu untuk menyenangkan hati kakak
semata. Maka sekarang luruskan niatmu, niatkan semua itu untuk Allah ta’ala
selanjutnya untuk kakak.”
Mendengar semua itu, aku memeluk suamiku. Aku
merasa bahwa dia adalah lelaki terbaik yang pernah kujumpai selama hidupku. Aku
bahkan telah melupakan Boby. Aku merasa bahwa malam itu, aku adalah wanita yang
paling bahagia di dunia. Sebab meskipun dalam keadaan sakit, untuk pertama
kalinya Kak Arfan mendatangiku sebagai seorang suami. Hari-hari kami lalui
dengan bahagia. Kak arfan begitu sangat kharismatik. Terkadang dia seperti
seorang kakak buatku dan terkadang seperti orang tua. Darinya aku banyak
belajar banyak hal. Perlahan aku mulai meluruskan niatku dengan menggunakan
busana yang syar’i, semata-mata karena Allah dan untuk menyenangkan hati suamiku.
Sebulan setelah malam itu, dalam rahimku telah
tumbuh benih-benih cinta kami berdua. Alhamdulillah, aku sangat bahagia
bersuamikan dia. Darinya aku belajar banyak tentang agama. Hari demi hari kami
lalui dengan kebahagiaan. Ternyata dia mencintaiku lebih dari apa yang aku
bayangkan. Dulu aku hampir saja melakukan tindakan bodoh dengan menolak
pinangannya. Aku fikir kebahagiaan itu akan berlangsung lama diantara kami,
setelah lahir Abdurrahman, hasil cinta kami berdua.
Di akhir tahun 2008, Kak Arfan mengalami
kecelakaan dan usianya tidak panjang. Sebab Kak Arfan meninggal dunia sehari
setelah kecelakaan tersebut. Aku sangat kehilangannya. Aku seperti kehilangan
penopang hidupku. Aku kehilangan kekasihku. Aku kehilangan murobbiku, aku
kehilangan suamiku. Tidak pernah terbayangkan olehku bahwa kebahagiaan
bersamanya begitu singkat. Yang tidak pernah aku lupakan di akhir kehidupannya
Kak Arfan, dia masih sempat menasehatkan sesuatu padaku:
“Dek.. pertemuan dan perpisahan itu adalah
fitrahnya kehidupan. Kalau ternyata kita berpisah besok atau lusa, kakak minta
padamu Dek.., jaga Abdurrahman dengan baik. Jadikan dia sebagai mujahid yang
senantiasa membela agama, senantiasa menjadi yang terbaik untuk ummat. Didik
dia dengan baik Dek, jangan sia-siakan dia.
Satu permintaan kakak.., kalau suatu saat ada
seorang pria yang datang melamarmu, maka pilihlah pria yang tidak hanya
mencintaimu. Tetapi juga mau menerima kehadiran anak kita.
Maafkan kakak Dek.., bila selama bersamamu, ada
kekurangan yang telah kakak perbuat untukmu. Senantiasalah berdoa.., kalau kita
berpisah di dunia ini..Insya Allah kita akan berjumpa kembali di akhirat kelak
. Kalau Allah mentakdirkan kakak yang pergi lebih dahulu meninggalkanmu, Insya
Allah kakak akan senantiasa menantimu..”
Demikianlah pesan terakhir Kak Arfan sebelum
keesokan harinya Kak Arfan
meninggalkan dunia ini. Hatiku sangat sedih saat itu. Aku merasa sangat kehilangan. Tetapi aku berusaha mewujudkan harapan terakhirnya, mendidik dan menjaga Abdurrahman dengan baik. Selamat jalan Kak Arfan. Aku akan selalu mengenangmu dalam setiap doa-doaku, amiin. Wasallam”
meninggalkan dunia ini. Hatiku sangat sedih saat itu. Aku merasa sangat kehilangan. Tetapi aku berusaha mewujudkan harapan terakhirnya, mendidik dan menjaga Abdurrahman dengan baik. Selamat jalan Kak Arfan. Aku akan selalu mengenangmu dalam setiap doa-doaku, amiin. Wasallam”
NB : Kisah Nyata dari Akhwat di Gorontalo,
Sulawesi Utara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar