Pernakah Anda mengalami saat-saat terindah dalam hidup Anda?
Apakah yang Anda rasakan pada saat itu? Bukankah Anda merasakan hati Anda
sangat bahagia sehingga Anda ingin seandainya saat-saat itu terulang kembali?
Setiap insan tentu pernah merasakan saat-saat terindah
dalam hidupnya, akan tetapi masing-masing orang akan menjadikan saat terindah
dalam hidupnya sesuai dengan apa yang mendominasi hati dan jiwanya.
Orang yang sedang semangat melakukan usaha perdagangan dan
bisnis menganggap saat terindah adalah ketika dia berhasil meraup keuntungan
besar dan berlipat ganda dalam bisnisnya. Orang yang berambisi besar untuk
mendapatkan kedudukan dan jabatan duniawi merasa saat yang terindah adalah
ketika dia berhasil menduduki jabatan tinggi dan penting dalam kariernya.
Demikian pula, orang yang sedang dimabuk cinta merasa bahwa saat
terindah adalah ketika cintanya diterima oleh sang kekasih dan ketika berjumpa
dengannya.
Demikianlah sekilas gambaran keadaan manusia dalam menilai
saat-saat terindah dalam hidup mereka Sekarang marilah kita perhatikan dan
renungkan dengan seksama, manakah di antara semua itu yang benar-benar
merupakan kebahagiaan dan keindahan yang sejati, sehingga orang yang
mendapatkannya berarti sungguh dia telah merasakan saat terindah dalam
hidupnya?
Renungan tentang keindahan dan kebahagiaan
hidup yang sejati
Imam Ibnul Qayyim berkata, “Sesungguhnya bentuk-bentuk
kebahagiaan (keindahan) yang diprioritaskan oleh jiwa manusia ada tiga (macam):
1- Kebahagiaan
(keindahan) di luar zat (diri) manusia, bahkan keindahan ini merupakan pinjaman
dari selain dirinya, yang akan hilang dengan dikembalikannya pinjaman tersebut.
Inilah kebahagiaan (keindahan) dengan harta dan kedudukan (jabatan duniawi).
Keindahan seperti ini adalah seperti keindahan seseorang dengan
pakaian (indah) dan perhiasannya, tapi ketika pandanganmu melewati penutup
dirinya tersebut maka ternyata tidak ada satu keindahanpun yang tersisa pada
dirinya!
Dalam sebuah kisah diceritakan bahwa ada seorang ulama yang
menumpang sebuah kapal laut bersama para saudagar kaya, kemudian kapal tersebut
pecah (dan tenggelam bersama seluruh barang-barang muatan). Maka para saudagar
tersebut serta merta menjadi orang-orang yang hina dan rendah (karena harta
mereka tenggelam di laut) padahal sebelumnya mereka merasa mulia (bangga)
dengan kekayaan mereka. Sedangkan ulama tersebut sesampainya di negeri tujuan
beliau dimuliakan dengan berbagai macam hadiah dan penghormatan (karena ilmu
yang dimilikinya). Ketika para saudagar yang telah menjadi miskin itu ingin
kembali ke negeri mereka, mereka bertanya kepada ulama tersebut: Apakah anda
ingin menitip pesan atau surat untuk kaum kerabat anda? Maka ulama itu
menjawab: “Iya, sampaikanlah kepada mereka: Jika kalian ingin mengambil harta
(kemuliaan) maka ambillah harta yang tidak akan tenggelam (hilang) meskipun
kapal tenggelam, oleh karena itu jadikanlah ilmu sebagai (barang) perniagaan
(kalian)”.
2- (Bentuk)
kebahagiaan (keindahan) yang kedua: kebahagiaan (keindahan) pada tubuh dan
fisik manusia, seperti kesehatan tubuh, keseimbangan fisik dan anggota badan,
keindahan rupa, kebersihan kulit dan kekuatan fisik. Keindahan ini meskipun
lebih dekat (pada diri manusia) jika dibandingkan dengan keindahan yang
pertama, namun pada hakikatnya keindahan tersebut di luar diri dan zat manusia,
karena manusia itu dianggap sebagai manusia dengan ruh dan hatinya, bukan (cuma
sekedar) dengan tubuh dan raganya, sebagaimana ucapan seorang penyair:
Wahai orang yang (hanya)
memperhatikan fisik, betapa besar kepayahanmu dengan mengurus tubuhmu
Padahal kamu (disebut) manusia
dengan ruhmu bukan dengan tubuhmu
[1]Inilah keindahan semu dan palsu milik orang-orang
munafik yang tidak dibarengi dengan keindahan jiwa dan hati, sehingga Allah Ta’ala mencela
mereka dalam firman-Nya:
{وَإِذَا رَأَيْتَهُمْ تُعْجِبُكَ أَجْسَامُهُمْ وَإِنْ يَقُولُوا تَسْمَعْ لِقَوْلِهِمْ كَأَنَّهُمْ خُشُبٌ مُسَنَّدَةٌ}
“Dan apabila kamu melihat mereka, tubuh-tubuh (penampilan fisik)
mereka menjadikan kamu kagum. Dan jika mereka berkata kamu mendengarkan perkataan
mereka. Mereka seakan-akan kayu yang tersandar” (QS al-Munafiqun:
4).
Artinya: mereka memiliki penampilan
rupa dan fisik yang indah, tapi hati dan jiwa mereka penuh dengan keburukan,
ketakutan dan kelemahan, tidak seperti penampilan lahir mereka[2].
3- (Bentuk)
kebahagiaan (keindahan) yang ketiga: inilah kebahagiaan (keindahan) yang
sejati, keindahan rohani dalam hati dan jiwa manusia, yaitu keindahan dengan
ilmu yang bermanfaat dan buahnya (amalan shaleh untuk mendekatkan kepada Allah Ta’ala).
Sesungguhnya kebahagiaan inilah yang
menetap dan kekal (pada diri manusia) dalam semua keadaan, dan menyertainya
dalam semua perjalanan (hidupnya), bahkan pada semua alam yang akan dilaluinya,
yaitu: alam dunia, alam barzakh (kubur) dan alam tempat menetap (akhirat).
Dengan inilah seorang hamba akan meniti tangga kemuliaan dan derajat
kesempurnaan”[3].
Berbahagialah dengan saat terindah dalam
hidupmu!
Berdasarkan renungan tentang
keindahan dan kebahagiaan hidup di atas, maka jelaslah bahwa keindahan dan
kebahagiaan yang sejati dalam hidup manusia adalah dengan mengamalkan amalan
shaleh yang dicintai oleh AllahTa’ala dan
mengutamakannya di atas segala sesuatu yang ada di dunia ini.
Inilah keindahan dan kebahagiaan
sejati yang direkomendasikan oleh Allah Ta’ala dalam firman-Nya,
{قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ}
“Katakanlah: “Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan
itu mereka (orang-orang yang berilmu) bergembira (berbangga), kurnia Allah dan
rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa (kesenangan duniawi) yang dikumpulkan
(oleh manusia)” (QS Yunus:58).
Dalam ayat ini Allah Ta’ala
memerintahkan kepada orang-orang yang beriman agar mereka merasa bangga
(gembira dan bahagia) dengan anugerah yang Allah Ta’ala berikan
kepada mereka, dan Dia U menyatakan bahwa anugerah dari-Nya itu lebih indah dan
mulia dari semua kesenangan dunia yang berlomba-lomba dikejar oleh kebanyakan
manusia ”Karunia Allah” dalam ayat ini ditafsirkan oleh para ulama ahli tafsir
dengan “keimanan”, sedangkan “Rahmat Allah” ditafsirkan dengan “Al Qur-an”,
yang keduanya (keimanan dan Al Qur-an) adalah ilmu yang bermanfaat dan amalan
shaleh, sekaligus keduanya merupakan petunjuk dan agama
yang benar (yang
dibawa oleh Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam)[4].
Syaikh ‘Abdur Rahman as-Sa’di
berkata, “Kenikmatan (yang berupa) agama (iman) yang bergandengan dengan
kebahagiaan dunia dan akhirat (jelas) tidak bisa dibandingkan dengan semua
kenikmatan duniawi yang hanya sementara dan akan hilang”[5].
Inilah kebahagiaan hakiki bagi hati
dan jiwa manusia, yang digambarkan oleh Imam Ibnul Qayyim dalam ucapan beliau,
“Semua perintah Allah (dalam agama Islam), hak-Nya (ibadah) yang Dia wajibkan
kepada hamba-hamba-Nya, serta semua hukum yang disyariatkan-Nya (pada
hakekatnya) merupakan qurratul ‘uyuun (penyejuk pandangan mata), serta
kesenangan dan kenikmatan bagi hati (manusia), yang dengan (semua) itulah hati
akan terobati, (merasakan) kebahagiaan, kesenangan dan kesempurnaan di dunia
dan akhirat. Bahkan hati (manusia) tidak akan merasakan kebahagiaan, kesenangan
dan kenikmatan yang hakiki kecuali dengan semua itu. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,
{يا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدىً وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ، قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ}
“Hai manusia, sesungguhnya telah
datang kepadamu pelajaran dari Rabbmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit
(yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang
beriman. Katakanlah: “Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu
mereka bergembira. Karunia dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa
(kesenangan duniawi) yang dikumpulkan (oleh manusia)” (QS.Yuunus:57-58)”[6].
Maka berdasarkan semua ini, berarti saat yang paling indah dalam hidup seorang manusia adalah ketika Allah Ta’ala melimpahkan taufik-Nya kepadanya untuk
mengikuti jalan Islam dan memberi petunjuk kepadanya untuk memahami dan
mengamalkan petunjuk-Nya guna mencapai keridhaan-Nya.
Inilah pernyataan yang disampaikan
oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada shahabat yang mulia, Ka’ab bin
Malik, ketika Allah Ta’ala menurunkan ayat al-Qur’an[7] tentang
diterima-Nya taubat shahabat ini dan dua orang shahabat lainnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya dengan wajah yang
berseri-seri karena gembira, “Berbahagialah dengan hari terindah yang pernah
kamu lalui sejak kamu dilahirkan ibumu”[8].
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menamakan hari diterimanya taubat
seorang hamba oleh Allah Ta’ala sebagaihari/saat yang terindah dalam
hidupnya karena
taubat itulah yang menyempurnakan keislaman seorang hamba, maka ketika dia
masuk Islam itulah awal kebahagiaannya dan ketika Allah Ta’ala menerima
taubatnya itulah penyempurna dan puncak kebahagiaannya, sehingga hari itu
adalah saat terindah dalam hidupnya[9].
Imam Ibnul Qayyim berkata, “Dalam
hadits ini terdapat argumentasi (yang menunjukkan) bahwa hari yang paling indah
dan utama bagi seorang hamba secara mutlak adalah ketika dia bertaubat kepada
Allah dan Allah menerima taubatnya.…Kalau ada yang bertanya: Bagaimana
(mungkin) hari ini (dikatakan) lebih baik daripada hari (ketika) dia masuk
Islam? Jawabannya: hari ini adalah penyempurna dan pelengkap hari (ketika) dia
masuk Islam, maka hari (ketika) dia masuk Islam adalah awal kebahagiaanya,
sedangkan hari taubatnya adalah penyempurna dan pelengkap kebahagiaanya, wallahu musta’aan[10].
Senada dengan hadits di atas, ucapan
shabat yang mulia, Anas bin Malik yang menggambarkan kegembiraan para shahabat
ketika mendengar sebuah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
Anas bin Malik berkata, “Maka kami (para shahabat ) tidak pernah merasakan
suatu kegembiraan setelah (kegembiraan dengan) Islam melebihi kegembiraan kami
tatkala mendengar sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Engkau (akan dikumpulkan di surga)
bersama orang yang kamu cintai”. Maka aku mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu bakar t dan Umar t,
dan aku berharap akan bersama mereka (di surga nanti) dengan kecintaanku kepada
mereka meskipun aku belum mampu melakukan seperti amal perbuatan mereka”[11].
Hadits yang agung ini menunjukkan
bahwa saat-saat yang terindah bagi
orang-orang yang sempurna imannya, para shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah ketika mereka mendapat hidayah
untuk menempuh jalan Islam dan ketika mereka memahami serta mengamalkan
petunjuk Allah Ta’ala untuk mencapai ridha-Nya dan masuk ke
dalam surga-Nya.
Saat yang paling indah di akhirat kelak adalah
ketika bertemu Allah Ta’ala
Allah Ta’ala berfirman,
{فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا}
“Barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Rabbnya (Allah
Ta’ala) maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia
mempersekutukan Allah dengan apapun dalam beribadah kepada-Nya” (QS
al-Kahfi:110).
Inilah saat terindah yang
dinanti-nantikan oleh orang-orang yang beriman dan bertakwa kepada Allah Ta’ala, yaitu saat ketika bertemu dengan-Nya untuk
mendapatkan balasan kebaikan dan kemuliaan dari-Nya[12].
Dalam sebuah doa dari Imam Hasan
al-Bashri: “Ya Allah, jadikanlah sebaik-baik amalan kami sebelum ajal
(menjemput) kami, dan jadikanlah sebaik-baik hari (bagi) kami adalah hari
ketika kami berjumpa dengan-Mu”[13].
Mereka inilah orang-orang yang
mencintai perjumpaan dengan Allah Ta’ala maka Allah pun mencintai perjumpaan
dengan mereka, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang mencintai perjumpaan dengan Allah maka Allah
mencintai perjumpaan dengannya“[14].
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menggambarkan kegembiraan orang yang
bertakwa ketika bertemu AllahTa’ala dengan
amal shaleh yang mereka lakukan di dunia, dalam sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Orang yang berpuasa akan merasakan
dua kegembiraan; kegembiraan ketika berbuka puasa dan kegembiraan ketika
berjumpa dengan Rabbnya (Allah Ta’ala)”[15].
Kemudian, saat yang paling indah bagi
orang-orang yang beriman ketika berjumpa dengan Allah Ta’ala adalah
saat mereka memandang wajah-Nya yang maha mulia. Inilah kenikmatan tertinggi
yang Allah janjikan bagi mereka yang melebihi besarnya kenikmatan lainnya yang
ada di surga. Allah Ta’ala berfirman,
{لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا الْحُسْنَى وَزِيَادَةٌ وَلا يَرْهَقُ وُجُوهَهُمْ قَتَرٌ وَلا ذِلَّةٌ أُولَئِكَ أَصْحَابُ الْجَنَّةِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ}
“Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik
(surga) dan tambahannya (melihat wajah Allah Ta’ala). Dan muka mereka tidak
ditutupi debu hitam dan tidak (pula) kehinaan. Mereka itulah penghuni surga,
mereka kekal di dalamnya” (QS Yuunus:26).
Arti “tambahan” dalam ayat ini
ditafsirkan langsung oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits yang shahih, yaitu
kenikmatan melihat wajah Allah Ta’ala, dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling memahami
makna firman Allah Ta’ala[16]. Dalam hadits yang shahih dari seorang sahabat
yang mulia, Shuhaib bin Sinan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika penghuni surga telah
masuk surga, Allah Ta’alaBerfirman:
“Apakah kalian (wahai penghuni surga) menginginkan sesuatu sebagai tambahan
(dari kenikmatan surga)? Maka mereka menjawab: Bukankah Engkau telah memutihkan
wajah-wajah kami? Bukankah Engkau telah memasukkan kami ke dalam surga dan
menyelamatkan kami dari (azab) neraka? Maka (pada waktu itu) Allah Membuka hijab
(yang menutupi wajah-Nya Yang Maha Mulia), dan penghuni surga tidak pernah
mendapatkan suatu (kenikmatan) yang lebih mereka sukai dari pada melihat
(wajah) Allah Ta’ala”. Kemudian
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat tersebut di atas[17].
Dalam hadits ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan bahwa kenikmatan melihat
wajah Allah Ta’alaadalah
kenikmatan yang paling mulia dan agung serta melebihi kenikmatan-kenikmatan di
surga lainnya[18].
Imam Ibnu Katsir berkata:
”(Kenikmatan) yang paling agung dan tinggi (yang melebihi semua) kenikmatan di
surga adalah memandang wajah Allah yang maha mulia, karena inilah “tambahan”
yang paling agung (melebihi) semua (kenikmatan) yang Allah berikan kepada para
penghuni surga. Mereka berhak mendapatkan kenikmatan tersebut bukan (semata-mata)
karena amal perbuatan mereka, tetapi karena karunia dan rahmat Allah” [19].
Dalam hadits lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menggandengkan kenikmatan tertinggi
ini dengan sifat kekasih Allah Ta’ala yang disebutkan dalam hadits di atas,
yaitu selalu merindukan perjumpaan dengan Allah Ta’ala. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
dalam doa beliau, “(Ya Allah) aku meminta kepada-Mu kenikmatan memandang wajah-Mu (di
akhirat nanti) dan aku meminta kepada-Mu kerinduan untuk bertemu dengan-Mu
(sewaktu di dunia), tanpa adanya bahaya yang mencelakakan dan fitnah yang
menyesatkan”[20].
Imam Ibnul Qayyim dalam kitab beliau
“Ighaatsatul lahafaan”[21] menjelaskan
keterkaitan dua hal ini, yaitu bahwa kenikmatan tertinggi di akhirat ini
(melihat wajah Allah Ta’ala) adalah
balasan yang Allah Ta’ala berikan kepada orang yang selalu
mengharapkan dan merindukan pertemuan dengan Allah Ta’ala, yaitu kekasih-Nya yang telah merasakan
kesempurnaan dan kemanisan iman, yang wujudnya berupa perasaan tenang dan
bahagia ketika mendekatkan diri dan berzikir kepada-Nya.
Atau dengan kata lain, orang yang
akan menjumpai saat yang paling indah dan dinanti-nantikan di akhirat ini,
yaitu saat melihat wajah Allah Ta’ala yang maha mulia, adalah orang yang
ketika di dunia dia merasakan bahwa saat terindah dalam hidupnya adalah ketika dia beribadah dan
mendekatkan diri kepada Zat yang dicintainya, Allah Ta’ala.
Nasehat dan penutup
Demikianlah gambaran saat-saat paling indah bagi
para kekasih Allah Ta’ala di dunia dan akhirat, bandingkanlah
dengan saat-saat yang dianggap paling indah oleh mayoritas manusia sekarang
ini.
Kemudian tanyakan kepada diri kita sendiri: apakah yang kita
anggap sebagai saat terindah dalam hidup kita?
Maka berbahagialah hamba Allah yang
menjadikan saat terindah dalam hidupnya ketika dia beribadah dan mendekatkan
diri kepada Allah Ta’ala.
Berbahagialah dengan kabar gembira dari Allah Ta’ala berikut ini:
{إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنزلُ عَلَيْهِمُ الْمَلائِكَةُ أَلا تَخَافُوا وَلا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنْتُمْ تُوعَدُونَ نَحْنُ أَوْلِيَاؤُكُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الآخِرَةِ وَلَكُمْ فِيهَا مَا تَشْتَهِي أَنْفُسُكُمْ وَلَكُمْ فِيهَا مَا تَدَّعُونَ نزلا مِنْ غَفُورٍ رَحِيمٍ}
“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Rabb kami adalah Allah”
kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka (beristiqamah), maka malaikat akan
turun kepada mereka (dengan memberi kabar gembira): “Janganlah kamu merasa
takut dan bersedih hati; dan bergembiralah dengan (memperoleh) surga yang telah
dijanjikan Allah kepadamu. Kamilah penolong-penolongmu dalam kehidupan dunia
dan di akhirat; di dalamnya (surga) kamu memperoleh apa yang kamu inginkan dan
memperoleh (pula) apa yang kamu minta”. Sebagai hidangan (balasan yang kekal
bagimu) dari (Allah) Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS
Fushilat: 30-32).
Dalam ayat lain, Allah berfirman:
{أَلا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلا هُمْ يَحْزَنُونَ * الَّذِينَ آمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ، لَهُمُ الْبُشْرَى فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الآخِرَةِ، لا تَبْدِيلَ لِكَلِمَاتِ اللَّهِ، ذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ}
“Ketahuilah, sesungguhnya wali-wali (kekasih) Allah itu, tidak ada
kekhawatiran bagi mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu)
orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa. Bagi mereka berita gembira di
dalam kehidupan di dunia dan di akhirat. Tidak ada perobahan bagi
kalimat-kalimat (janji-janji) Allah. Yang demikian itu adalah kemenangan yang
besar” (QS Yunus: 62-64).
Akhirnya, kami menutup tulisan ini
dengan memohon kepada Allah Ta’ala agar Dia senantiasa melimpahkan
taufik-Nya kepada kita untuk mendapatkan kebaikan dari-Nya di dunia dan
akhirat, sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengabulkan doa.
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
Kota Kendari, 30 Muharram 1432 H
Tidak ada komentar:
Posting Komentar