M. Yusuf Amin Nugroho
Pada
abad ke XI Hijriah atau 15 masehi rokok baru mulai dikenal dalam dunia
Islam, tepatnya pada masa dinasti Ustmaniyah yang berpusat di Turki.
Setelah diketahui adanya sebagian orang Islam yang mulai terpengaruh
dan mengikuti kebiasaan merokok, maka dipandang perlu oleh para Ulama
pada masa itu pun seketika berijtihad, berusaha menetapkan hukum tentang
merokok, yang kemudian keluarlah fatwa bahwa hukum merokok adalah
makruh.
Hingga
lima abad setelah itu, merokok masih menjadi bahan perdebatan di
kalangan Ulama. Kontroversi seputar penetapan hukum merokok tak bisa
dihindarkan, termasuk dikalangan Ulama NU dan Muhamamdiyah.
Pada tahun 2005 Muhammadiyah lewat Majelis Tarjih dan Tajdid-nya telah menerbitkan fatwa hukum merokok, yang intinya adalah merokok hukumnya mubah.
Namun, fatwa tersebut kemudian direvisi atau dianggap tidak berlaku
lagi semenjak dikeluarkannya fatwa hasil dari Kesepakatan dalam Halaqah
Tarjih tentang Fikih Pengendalian Tembakau yang diselenggarakan Maret
2010 M yang isinya mengatakan bahwa merokok adalah haram.
Sementara NU melalui Bahstul Masail-nya menyatakan bahwa hukum merokok itu relatif, bisa mubah, makruh, dan bisa haram, tergantung tergantung dengan apa yang diakibatkannya mengingat hukum itu berporos pada 'illah yang mendasarinya.
Lebih jelasnya mengenai fatwa hukum merokok dari NU dan Muhammadiyah, marilah kita jabarkan satu persatu.
- Muhammadiyah
Hukum Islam (fiqh),
sebagaimanya kita ketahui bersama, dapat berubah tergantung dengan
situasi dan kondisi di mana hukum itu diterapkan. Demikian halnya dengan
fatwa yang dikeluarkan oleh Muhammadiyah tentang hukum merokok. Bahwa pada
tahun 2005 Majelis Tarjih dan Tajdid memfatwakan mubah dikarenakan
belum cukupnya data-data dan informasi yang diterima oleh para perumus
fatwa. Dan setelah dilakukan kembali beberapa kajian dengan mengundang
para ahli kesehatan, demografi dan sosiolog maka Majlis Tarjih dan
Tajdid merubah fatwa bahwa merokok mubah menjadi haram. Dengan
dikeluarkan fatwa baru ini, maka fatwa sebelumnya tentang merokok adalah
mubah dinyatakan tidak berlaku.
Dalam amar fatwa haram rokok yang dikeluarkan Muhammadiyah disebutkan bahwa: Wajib
hukumnya mengupayakan pemeliharaan dan peningkatan derajat kesehatan
masyarakat setinggi-tingginya dan menciptakan lingkungan yang kondusif
bagi terwujudnya suatu kondisi hidup sehat yang merupakan hak setiap
orang dan merupakan bagian dari tujuan syariah (maqâshid asy-syarî’ah).
Adapun dalil atau dasar diharamkannya rokok, adalah:
Pertama, bahwa merokok termasuk kategori perbuatan melakukan khabâ’its yang dilarang dalam Islam, sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur’an, Artinya:
(yaitu)
orang-orang yang mengikut rasul, nabi yang ummi yang (namanya) mereka
dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang
menyuruh mereka mengerjakan yang ma'ruf dan melarang mereka dari
mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik
dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka
beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang
yang beriman kepadanya. memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya
yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Quran), mereka Itulah
orang-orang yang beruntung. (al-A'raf: 157)
Kedua, Agama Islam (syariah) melarang menjatuhkan diri ke dalam kebinasaan dan perbuatan bunuh diri.
Pendekatan
yang digunakan oleh Majlis tarjih dan tajdid Muhammadiyah dalam
menetapkan hukum merokok adalah dengan melihat akibat yang nampak
ditimbulkan oleh kebiasaan tersebut.
Dalam tanya jawab, berkaitan dengan fatwa haram merokok dari Muhammadiyah, sebagaimana dimuat dalam Muhammadiyah Online, bahwa rokok
ditengarai sebagai produk berbahaya dan adiktif serta mengandung 4000
zat kimia, di antara zat kimia tersebut berdasarkan penelitian terbaru,
menyebutkan bahwa terdapat 200-an racun yang berbahaya yang dalam sebatang rokok. Sementara
itu Badan Kesehatan Dunia WHO menyebutkan bahwa di Amerika, sekitar 346
ribu orang meninggal tiap tahun dikarenakan rokok. Dan tidak kurang
dari 90% dari 660 orang yang terkena penyakit kanker di salah satu rumah
sakit Sanghai Cina adalah disebabkan rokok.
Juga terdapat penelitian yang menyebutkan bahwa 20 batang rokok per-hari akan menyebabkan berkurangnya 15% hemoglobin, yakni zat asasi pembentuk darah merah.
Racun utama pada rokok adalah tar, nikotin dan karbon monoksida. Tar adalah substansi hidrokarbon yang bersifat lengket dan menempel pada paru-paru. Nikotin adalah zat adiktif yang mempengaruhi syaraf dan peredaran darah. Zat ini bersifat karsinogen dan mampu memicu kanker paru-paru yang mematikan. Karbon monoksida adalah zat yang mengikat hemoglobin dalam darah, membuat darah tidak mampu mengikat oksigen.
Racun utama pada rokok adalah tar, nikotin dan karbon monoksida. Tar adalah substansi hidrokarbon yang bersifat lengket dan menempel pada paru-paru. Nikotin adalah zat adiktif yang mempengaruhi syaraf dan peredaran darah. Zat ini bersifat karsinogen dan mampu memicu kanker paru-paru yang mematikan. Karbon monoksida adalah zat yang mengikat hemoglobin dalam darah, membuat darah tidak mampu mengikat oksigen.
Efek
racun pada rokok ini membuat pengisap asap rokok mengalami resiko14
kali lebih bersar terkena kanker paru-paru, mulut, dan tenggorokan dari
pada mereka yang tidak menghisapnya.
Penghisap rokok juga beresiko 2 kali lebih besar terkena serangan jantung dari pada mereka yang tidak menghisapnya.
Rokok juga meningkatkan resiko kefatalan bagi penderita pneumonia
dan gagal jantung serta tekanan darah tinggi. Menggunakan rokok dengan
kadar nikotin rendah tidak akan membantu, karena untuk mengikuti
kebutuhan akan zat adiktif itu, perokok cenderung menyedot asap rokok
secara lebih keras, lebih dalam, dan lebih lama.
Apa yang penulis deretkan di atas dijadikan dasar utama Muhammadiyah dalam menetapkan fatwa haramnya merokok, yang intinya adalah karena “merokok memiliki madharat yang sangat besar.” Karena madharatnya dianggap sangat besar, maka merokok merupakan perbuatan yang mengandung
unsur menjatuhkan diri ke dalam kebinasaan dan bahkan merupakan
perbuatan bunuh diri secara perlahan sehingga itu bertentangan dengan
larangan Alquran, Artinya:
Sesungguhnya
orang-orang yang menyembunyikan apa yang Telah kami turunkan berupa
keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah kami
menerangkannya kepada manusia dalam Al kitab, mereka itu dila'nati Allah
dan dila'nati (pula) oleh semua (mahluk) yang dapat mela'nati. (Q.S. Albaqarah: 159)
Juga di surat an-Nisa, yang Artinya:
Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu
dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku
dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh
dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. (Q.S. Annisa: 29)
Merokok juga bertentangan dengan prinsip syariah dalam hadis Nabi saw: “tidak ada perbuatan membahayakan diri sendiri dan membahayakan orang lain.”
Ketiga,
merokok tergolong perbuatan mubazir, dan ini jelas dilarang dalam
Islam. selain merugikan kesehatan, merokok juga meningkatkan angka
kemiskinan, demikian menurut Muhammadiyah. Dari
data yang diperoleh keluarga termiskin justru mempunyai prevalensi
merokok lebih tinggi daripada kelompok pendapatan terkaya. Angka-angka
SUSENAS 2006 mencatat bahwa pengeluaran keluarga termiskin untuk membeli
rokok mencapai 11,9%, sementara keluarga terkaya pengeluaran rokoknya
hanya 6,8%. Fakta ini memperlihatkan bahwa rokok pada keluarga miskin
perokok menggeser kebutuhan makanan bergizi esensial bagi pertumbuhan
balita.
Dengan demikian berarti merokok melakukan perbuatan mubazir (pemborosan) yang dilarang dalam al-Qur’an, artinya:
Dan
berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada
orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu
menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya
pemboros-pemboros itu adalah Saudara-saudara syaitan dan syaitan itu
adalah sangat ingkar kepada Tuhannya. (QS. Al-Israa’: 26-27)
Keempat, merokok tidak hanya berdampak
buruk bagi diri si perokok, tetapi juga bagi anggota keluarga, dan
orang-orang disekitar si perokok. Dan Islam telah melarang menimbulkan mudarat atau bahaya pada diri sendiri dan pada orang, sebagaimana disebutkan dalam hadis yang artinya:
Tidak ada bahaya terhadap diri sendiri dan terhadap orang lain (HR. Ibn Majjah, Ahmad, dan Malik).
Kelima, Perbuatan
merokok oleh Muhammadiyah juga dikategorikan sebagai perbuatan yang
melemahkan sehingga bertentangan dengan hadis Nabi saw yang melarang
setiap perkara yang memabukkan dan melemahkan, sebagaimana hadis riwayat Ibn Majah, Ahmad, dan Malik yang artinya:
Dari Ummi Salamah bahwa Rasulullah saw melarang setiap yang memabukkan dan setiap yang melemahkan. (HR Ahmad dan Abu Dawud)
Merokok bertentangan dengan unsur-unsur tujuan syariah (maqâshid asy-syarî’ah) yaitu (1) perlindungan agama (hifzh ad-dîn), (2) perlindungan jiwa/raga (hifzh an-nafs), (2) perlindungan akal (hifzh al-aql), (4) perlindungan keluarga (hifzh an-nasl), dan (5) perlindungan harta (hifzh al-mâl).
Bahwa
Agama Islam (syariah) mempunyai tujuan (maqa’id asy-syari’ah) untuk
mewujudkan kemaslahatan hidup manusia. Perlindungan terhadap agama
dilakukan dengan peningkatan ketakwaan melalui pembinaan hubungan
vertikal kepada Allah SWT dan hubungan horizontal kepada sesama dan
kepada alam lingkungan dengan mematuhi berbagai norma dan petunjuk
syariah tentang bagaimana berbuat baik terhadap Allah, manusia dan alam
lingkungan. Perlindungan terhadap jiwa/raga diwujudkan melalui upaya
mempertahankan suatu standar hidup yang sehat secara jasmani dan rohani
serta menghindarkan semua faktor yang dapat membahayakan dan merusak
manusia secara fisik dan psikis, termasuk menghindari perbuatan yang
berakibat bunuh diri walaupun secara perlahan dan perbuatan menjatuhkan
diri kepada kebinasaan yang dilarang di dalam al- Quran. Perlindungan
terhadap akal dilakukan dengan upaya antara lain membangun manusia yang
cerdas termasuk mengupayakan pendidikan yang terbaik dan menghindari
segala hal yang bertentangan dengan upaya pencerdasan manusia.
Perlindungan terhadap keluarga diwujudkan antara lain melalui upaya
penciptaan suasana hidup keluarga yang sakinah dan penciptaan kehidupan
yang sehat termasuk dan terutama bagi anak-anak yang merupakan tunas
bangsa dan umat. Perlindungan terhadap harta diwujudkan antara lain
melalui pemeliharaan dan pengembangan harta kekayaan materiil yang
penting dalam rangka menunjang kehidupan ekonomi yang sejahtera dan oleh
karena itu dilarang berbuat mubazir dan menghamburkan harta untuk
hal-hal yang tidak berguna dan bahkan merusak diri manusia sendiri.
Namun demikian, perlu juga disebutkan bahwa fatwa haram merokok dari Muhammadiyah tersebut ditetapkan dengan mengingat prinsip at-tadriij (berangsur), at-taisiir (kemudahan), dan ‘adam al-kharaj
(tidak mempersulit). Artinya, mereka yang telah terlanjur menjadi
perokok wajib melakukan upaya dan berusaha sesuai dengan kemampuannya
untuk berhenti dari kebiasaan merokok dengan mengingat al-Qur’an, artinya:
“Dan
orang-orang yang bersungguh-sungguh di jalan Kami, benar-benar akan
Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami, dan sesungguhnya Allah
benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik,” (QS. Al-Ankabut: 69),
Juga berdasarkan firman Allah di surat al-Baqarah, artinya:
Allah
tidak akan membebani seseorang kecuali sesuai dengan kemampuannya; ia
akan mendapat hasil yang ia usahakan dan memikul akibat perbuatan yang
ia lakukan. (QS. Al-Baqarah: 286)
Selain
itu, upaya yang dilakukan oleh para perokok untuk berusaha menghentikan
kebiasaan merokok fatwa tersebut juga merkomendasikan kepada
pusat-pusat kesehatan di lingkungan Muhammadiyah untuk mengupayakan
adanya fasilitas dalam memberikan terapi guna membantu orang yang
berupaya berhenti merokok.
Sementara
bagi mereka yang belum atau tidak merokok wajib menghindarkan diri dan
keluarganya dari percobaan merokok, sesuai dengan firman Allah, artinya:
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api... (Q.S. At-Tamrin: 6)
2. Nahdhatul Ulama
Hukum merokok menurut sebagian besar ulama NU makruh.
NU menyadari bahwa kebiasaan merokok baru dikenal di dunia Islam
semenjak awal abad XI hijriyah dan sejak itu hukum rokok atau merokok
telah dibahas oleh para ulama di berbagai negeri, baik secara kolektif
maupun pribadi. Di sebabkan tidak ada dalil dari al-Qur’an maupun hadis
yang secara khusus menjelaskan masalah hukum merokok,
maka perbedaan mengenai hukum merokok pun tidak dapat dihindarkan.
Hukum merokok berkutat pada perbedaan haram, mubah dan makruh.
Membaca artikel yang ditulis KH Arwani Faishal di situs resmi NU berjudul Bahstul Masail tentang Hukum Merokok tidak didapatkan
keterangan yang secara tegas mengatakan bahwa merokok hukumnya ini
atau itu; mubah, haram, atau makruh. KH Arwani, wakil ketua lembaga
Bahstuhl Masail ini mencoba memandang dari bebagai perspektif tentang
fatwa-fatwa seputar hukum rokok, tidak secara tegas memilih pendapat
mana yang paling kuat.
Ia menyatakan bahwa pengharaman rokok pasti akan mendapat penolakan dari orang-orang yang tidak sepaham. Ia menulis: “Seandainya
muncul fatwa, bahwa korupsi itu hukumnya haram berat karena termasuk
tindak sariqah (pencurian), maka semua orang akan sependapat termasuk
koruptor itu sendiri. Akan tetapi persoalannya akan lain ketika merokok
itu dihukumi haram. Akan muncul pro dari pihak tertentu dan muncul pula
kontra serta penolakan dari pihak-pihak yang tidak sepaham. Dalam
tinjauan fiqh terdapat beberapa kemungkinan pendapat dengan berbagai argumen yang bertolak belakang.”
Memang
terdapat nash al-Qur’an dan sunnah yang melarang manusia untuk berbuat
kerusakan, kemudharatan dan kemafsadatan. Namun begitu dalil tersebut memiliki sifat yang umum sehingga sangat niscaya Ulama menafsirkannya berbeda-beda.
Dan
belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu
menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah,
Karena Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. (Al-Baqarah: 195)
Dalam hadis juga disebutkan:
Dari Ibnu 'Abbas ra, ia berkata; Rasulullah SAW. bersabda: Tidak boleh berbuat kemudaratan (pada diri sendiri), dan tidak boleh berbuat kemudaratan (pada diri orang lain). (HR. Ibnu Majah)
Para
ulama fiqih, termasuk juga Ulama NU, memang telah sepakat bahwa segala
sesuatu yang membawa kepada kemadharatan adalah haram. Namun demikian,
jika muncul pertanyaan apakah merokok membawa kemadharatan? Apakah
merokok tidak memiliki manfaat? Akan selalu berbeda satu jawaban dengan
yang lainnya. Lain lagi jika seandainya semua sepakat, bahwa merokok
tidak membawa mudarat atau membawa mudarat tetapi relatif kecil, maka
semua akan sepakat dengan hukum mubah atau makruh. Demikian pula
seandainya semuanya sepakat, bahwa merokok membawa mudarat besar, maka
akan sepakat pula dengan hukum haram.
KH Arwani Faishal selanjutnya membagi pendapat seputar rokok menjadi tiga macam, yakni:
Pertama;
hukum merokok adalah mubah atau boleh karena rokok dipandang tidak
membawa mudarat. Secara tegas dapat dinyatakan, bahwa hakikat rokok
bukanlah benda yang memabukkan.
Kedua
; hukum merokok adalah makruh karena rokok membawa mudarat relatif
kecil yang tidak signifikan untuk dijadikan dasar hukum haram.
Ketiga;
hukum merokok adalah haram karena rokok secara mutlak dipandang membawa
banyak mudarat. Berdasarkan informasi mengenai hasil penelitian medis,
bahwa rokok dapat menyebabkan berbagai macam penyakit dalam, seperti
kanker, paru-paru, jantung dan lainnya setelah sekian lama
membiasakannya.
Tiga
pendapat di atas dapat berlaku secara general, dalam arti mubah, makruh
dan haram itu bagi siapa pun orangnya. Namun bisa jadi tiga macam hukum
tersebut berlaku secara personal, dengan pengertian setiap person akan
terkena hukum yang berbeda sesuai dengan apa yang diakibatkannya, baik
terkait kondisi personnya atau kwantitas yang dikonsumsinya.
Tiga
macam hukum merokok tersebut, baik bersifat general maupun personal
terangkum dalam paparan panjang 'Abdur Rahman ibn Muhammad ibn Husain
ibn 'Umar Ba'alawiy di dalam Bughyatul Mustarsyidin.
“Tidak
ada hadits mengenai tembakau dan tidak ada atsar (ucapan dan tindakan)
dari seorang pun di antara para shahabat Nabi SAW. Jelasnya, jika
terdapat unsur-unsur yang membawa mudarat bagi seseorang pada akal atau
badannya, maka hukumnya adalah haram sebagaimana madu itu haram bagi
orang yang sedang sakit demam, dan lumpur itu haram bila membawa mudarat
bagi seseorang. Namun kadangkala terdapat unsur-unsur yang mubah tetapi
berubah menjadi sunnah sebagaimana bila sesuatu yang mubah itu
dimaksudkan untuk pengobatan berdasarkan keterangan terpercaya atau
pengalaman dirinya bahwa sesuatu itu dapat menjadi obat untuk penyakit
yang diderita sebagaimana berobat dengan benda najis selain khamr.
Sekiranya terbebas dari unsur-unsur haram dan mubah, maka hukumnya
makruh karena bila terdapat unsur-unsur yang bertolak belakang dengan
unsur-unsur haram itu dapat difahami makruh hukumnya.”
Senada dengan sepotong paparan di atas, apa yang telah diuraikan oleh Mahmud Syaltut di dalam Al-Fatawa (hal.383-384) sebagaimana dikutip KH Arwani Faishal, yang artinya sebagai berikut:
Tentang tembakau… sebagian ulama menghukumi halal karena memandang bahwasanya tembakau tidaklah memabukkan, dan hakikatnya bukanlah benda yang memabukkan, disamping itu juga tidak membawa mudarat bagi setiap orang yang mengkonsumsi…....Pada dasarnya semisal tembakau adalah halal, tetapi bisa jadi haram bagi orang yang memungkinkan terkena mudarat dan dampak negatifnya. Sedangkan sebagian ulama' lainnya menghukumi haram atau makruh karena memandang tembakau dapat mengurangi kesehatan, nafsu makan, dan menyebabkan organ-organ penting terjadi infeksi serta kurang stabil.
Demikian pula apa yang telah dijelaskan oleh Prof Dr Wahbah Az-Zuhailiy di dalam Al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuh (Cet. III, Jilid 6, hal. 166-167), sebagaimana dikutip KH Arwani Faishal, yang artinya sebagai berikut:
“Masalah
kopi dan rokok; penyusun kitab Al-'Ubab dari madzhab Asy-Syafi'i
ditanya mengenai kopi, lalu ia menjawab: (Kopi itu sarana) hukum, setiap
sarana itu sesuai dengan tujuannnya. Jika sarana itu dimaksudkan untuk
ibadah maka menjadi ibadah, untuk yang mubah maka menjadi mubah, untuk
yang makruh maka menjadi makruh, atau haram maka menjadi haram. Hal ini
dikuatkan oleh sebagian ulama' dari madzhab Hanbaliy terkait penetapan
tingkatan hukum ini. Syaikh Mar'i ibn Yusuf dari madzhab Hanbaliy,
penyusun kitab Ghayah al-Muntaha mengatakan : Jawaban tersebut mengarah
pada rokok dan kopi itu hukumnya mubah, tetapi bagi orang yang santun
lebih utama meninggalkan keduanya.”
Sebagaimana
sudah kita ketahui, banyak di antara Ulama atau Kiai NU yang merupakan
perokok. Dan sebagian besar dari Ulama NU mengatakan bahwa merokok
hukumnya adalah makruh. Perbedaan pendapat NU dan Muhammadiyah dalam
masalah hukum merokok ini dikarenakan penetapan ‘illah atau alasan hukum yang berbeda.
Jika
Muhammadiyah berpendapat bahwa kebiasaan merokok sangat membahayakan
kesehatan bagi perokok dan orang disekitarnya, karena racun yang
dikandung dalam sebatang rokok sangat banyak dan berbahaya. Maka, yang
dipersoalkan oleh Ulama NU adalah, bahwa informasi (bukan bukti)
mengenai hasil penelitian medis tentang rokok adalah sangat detail
sehingga sekecil apa pun kemadharatan dalam hisapan tembakau menjadi
terkesan lebih besar.
KH Arwani Faishal mengatakan,
apabila karakter penelitian medis semacam itu kurang dicermati,
kemudaratan merokok akan cenderung dipahami jauh lebih besar dari apa
yang sebenarnya. Selanjutnya, kemudaratan yang sebenarnya kecil dan
terkesan jauh lebih besar itu (hanya dalam bayangan) dijadikan dasar
untuk menetapkan hukum haram. Padahal, kemudaratan yang relatif kecil
itu seharusnya dijadikan dasar untuk menetapkan hukum makruh. Demikian
halnya dalam menetapkan hukum merokok. NU menganggap rokok memiliki
kemudharatan yang kecil yang belum cukup untuk dijadikan dasar hukum
pengharaman.
Jika
merokok haram, lalu bagaimana dengan makanan-makanan yang mengandung
bahan kimia berbahaya, apakah juga haram? Kita tahu, banyak makanan dan
minuman yang dinyatakan halal, ternyata secara medis dipandang tidak
steril untuk dikonsumsi. Mungkinkah setiap makanan dan minuman yang
dinyatakan tidak steril itu kemudian dihukumi haram, ataukah harus
dicermati seberapa besar kemudaratannya, kemudian ditentukan mubah,
makruh ataukah haram hukumnya.
"Sepertinya
tidak dan belum akan ada perubahan, hukumnya (rokok) tetap makruh,"
ujar Ketua PB NU Masdar Farid Mas'udi, menjelang Muktamar NU ke-32 di
Makasar 22-27 Maret 2010. Sementara itu, sebagaimana dilansir NU Online,
KH Saefuddin Amsir, ketua pimpinan sidang Komisi Diniyyah Waqiyyah
menyatakan tidak perlunya peninjauan kembali terhadap hukum merokok
karena tidak ada illat (alasan) baru yang menyebabkan perrubahan hukum.
Mengutip kaidah fiqh, ia menyatakan bahwa hukum itu berubah sesuai dengan perubahan alasan. Demikian juga berlaku pada hukum merokok.
Sementara
itu menurut sekretaris komisi Bahtsul Masail Diniyah Waqiiyah H M.
Cholil Nafis merokok tetap dihukumkan makruh, karena hal ini tidak
berakibat atau membahayakan secara langsung, juga tidak memabukkan
apalagi mematikan.
Tidak
ditinjau ulangnya hukum makruh merokok yang ditetapkan NU bukan berarti
NU menganggap remeh persoalan tentang bahaya rokok. Tapi, lebih karena
selain masyayikh NU sudah memfatwakan seperti itu, juga ada faktor
sosial lain yang melatarbelakangi, demikian Masdar Mas’udi menjelaskan.
Dan NU tentu saja sepakat dengan menggalakkan kampanye tentang bahaya
merokok di Indonesia.
Daftar bacaan:
1. KH Muhyidin Abdusshomad, Hujjah NU Akidah-Amaliah-Tradisi, Khalista Surabaya: 2008
2. PP Rabithah Ma’hadil Islamiyah, Masalah Kegamaan: Hasil Muktamar dan Munas Ulama Nahdhatul Ulama, Dinamika Press, Surabaya: 1977.
3. H. Soelleiman Fadeli dan Muhammad Subhan, S.Sos, Antologi NU, sejarah Istilah Amaliah, Uswah, Khalista, Surabaya: 2007
4. Abdul Munir Mulkhan, Masalah-Masalah Teologi dan Fiqh dalam Tarjih Muhammadiyah, Roykhan, Yogyakarta: 2005
5. PP. Muhammadiyah, Himpunan Putusan Majelis Tarjih Muhammadiyah, Persatuan, Yogyakarta, 1974.
6. Majalah Suara Muhammadiyah
7. Majalah Aula
8. Berbagai sumber di internet di antaranya:
sumber: http://www.tintaguru.com/2011/06/fiqh-khilafiyah-nu-muhammadiyah-seputar.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar